Monday, October 25, 2010

Bid'ah dan Revitalisasi Maulid

Oleh: Muhammad Hikam Masrun*
Tanggapan untuk "Maulid Nabi; antara Inovasi Terlarang dan Kemubajiran Kultural
Pada edisi (3/05) Opini Radar Banjarmasin, Saudara Aliman Syahrani menyampaikan kegusarannya seputar seremonial Maulid. Sedari tidak ditemukannya landasan primer, sehingga maulid-an dianggap sebagai inovasi 'terlarang' sampai pengaruh positifnya yang tampak tak terlihat, atau dengan ungkapan beliau sendiri, (oknum-oknum) mereka yang mengotori sunnah: minum dengan tangan kiri, atau para ibu-ibu yang biasanya karena kesibukannya menyiapkan hidangan sehingga lalai melaksanakan kewajiban shalat.

Di sisi lain, penulis juga mengkritisi komersialisasi para group-grup Barzanji dan Habsy dengan alasan (oknum) yang memasang tarif pementasan atas nama agama, bahkan penulis mengakhiri fenomena ini dengan "naudzubillah". Tak ketinggalan, sisi pragmatis maulid yang dipersoalkan, terutama kaitannya dengan pengembangan dakwah yang berwawasan peningkatan kualitas manusia. Setelah itu juga wacana lawas tentang ketidak-nyunnah-an maulid, karena tidak tercantum pada teks-teks primer Islam.

Menariknya, penulis mengamini relevansi makna kontekstual peringatan maulid di tengah merajalelanya pola hidup destruktif, seperti materilalisme, hedonisme dan yang lainnya. Lebih jauh, beliau kemudian mengatakan bahwa maulid Nabi adalah inovasi terlarang (bid'ah) dengan asumsi historis, sehingga harus dieliminasi. Karena itu, maulid sejatinya diganti dengan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih disemarakkan karena dana yang selama ini terkuras untuk maulid menjelma menjadi budaya kemubajiran.

Saya menangkap kegusaran penulis ini sebagai sesuatu yang patut diapresiasi, setidaknya karena beliau menawarkan alternatif seremonial Maulid yaitu kepada kegiatan kongkrit yang lebih mendesak dan pragmatis, seperti kegiatan sosial, membangun masjid, mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam dan lain sebagainya. Tampaknya, penulis mengambil skala prioritas dalam memaknai kembali maulid Nabi Saw.

Namun ada beberapa poin yang sepertinya perlu kembali diperhatikan. Dalam tulisan itu misalnya, diangkat proposisi Sunah dan Inovasi (bid'ah) penyelenggaran Maulid. Tidak bermaksud apa-apa, wacana ini tentu saja nyaris kehilangan titik pentingnya. Di samping bangunan epistimologis hukum Islam yang prematur, wacana ini berpotensi akan kontraproduktif terutama jika dikaitkan dengan realita masyarakat dan metode dakwah. Selebihnya, saya setuju bahwa memang diperlukan upaya memaknai kembali maulid Nabi Saw.

Sunnah dan Inovasi

Ketika membahas proposisi bid'ah (inovasi), ulama mempunyai dua pendekatan yang substansi tujuannya sama: 1) pendekatan terperinci Imam Al-Izz Ibn Abdissalam yang mengukur bahwa bid'ah adalah segala sesuatu yang belum pernah dikerjakan Nabi dan terbagi kepada beberapa 5 hukum: wajib, haram, mandub (terpuji), makruh dan mubah; dan 2) pendekatan global Ibnu Rajab al-Hanbali yang lebih tertekan pada arti etimologis-nya: sesuatu yang baru dan tak memiliki dasar (petunjuk) dalam syariat. Sehingga apa pun yang tidak pernah dilakukan Rasulullah namun memiliki pijakan dalam syariat maka itu bukanlah bid'ah --meskipun bisa dikatakan bid'ah secara bahasa (etimologi).

Kedua pendekatan ini sepakat bahwa substansi bid'ah (inovasi) yang terlarang (al-Madzmumah) yaitu yang tidak memiliki landasan dalam syariat (laisa laha ashlun fi as-syari'ah). Inilah yang dimaksud dengan hadist: "Kullu bid'atin dhalalah." Pemahaman seperti ini diadopsi oleh mayoritas ulama dan pakar otoritas fikih seperti Imam Syafi'i, Imam Ghazali, Ibnu al-Atsir, Imam Nawawi Rahimahumullah, dan lainnya. Singkatnya, menurut mereka, secara substantif bid'ah itu terbagi pada beberapa tingkatan hukum.

Karena itulah, kita temukan hadist riwayat Imam Muslim ra. tentang inovasi yang dianjurkan dalam Islam, "Man sanna sunnatan Hasanatan falahu ajruha wa ajru man 'amila biha ila yaumil qiyamah. Wa man sanna sunnatan sayyiatan fa'alaihi wizruha wa wizru man 'amila biha ila yaumil qiyamah" (Barangsiapa yang melakukan sunnah [inovasi] yang baik maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang melakukan sunnah [inovasi] yang buruk maka atasnya dosa dan [juga] dosa orang-orang yang melakukannya hingga hari kiamat). Kita juga akan menemukan sahabat seperti Umar ra. yang menyebut aktivitas tarawih berjamaah di mesjid sebagai bid'ah (inovasi) yang baik; Ibnu Umar ra. yang menyebut shalat Dhuha berjamaah sebagai bid'ah.

Penyelenggaran maulid pada dasarnya adalah boleh, karena ia bisa dikategorikan adat. Jika melihat pada penyelenggaraan maulid saat ini, hemat saya, jika isi penyelenggaraannya tidak ditemukan sesuatu yang melanggar hukum Islam maka itu termasuk dalam bid'ah mandubah (inovasi yang terpuji). Namun jika sebaliknya, maka formulasi hukum-nya akan berbeda. Wajar jika Imam Ibnu Hajar ra. mengatakan agar sebaiknya isi maulid itu adalah hal yang baik seperti memberi makan orang, melantunkan pujian kepada Rasul yang menggetarkan hati, atau perbuatan mubah lainnya.

Sehingga me-eliminasi maulid, menurut saya kurang tepat karena itu juga berarti melenyapkan kegiatan tersebut, sekalipun dengan alasan-alasan pragmatis atau fakta sejarah. Sejatinya, kultur yang ada dipertahankan namun (juga) dipoles dan di-revitalisasi. Misalnya, tentang ketidakpahaman lirik/prosa Maulid, dapat diatasi dengan upaya transalasi (penerjemahan), penghayatan dan internalisasi. Tentang ishraf (berlebih-lebihan), bisa diatasi dengan metode dan isi dakwah dari penceramah pada perayaaan maulid itu. Mengeliminasi kultur maulid di tengah setumpuk alternatif yang lebih realistis bisa dikatakan sebagai tindakan terlalu jauh, meski saya yakin penulis sendiri berniat baik.

Maulid adalah potensi budaya yang patut disemarakkan dan dan diapresiasi, terlebih bila dikaitkan dengan pergeseran budaya saat ini. Ia adalah jihad kultural, jika dilakukan dengan tepat. Karena itu memperingati maulid tidak terbatas pada bulan Rabiul Awal an sih, tapi harus dilakukan sepanjang jasad masih dikandung badan. Adalah kewajiban setiap individu, terutama suara dominan—meminjam istilah Hiesberger (1981)— yaitu pemerintah dan ulama untuk bersama merevitalisasinya. Dan semoga kekhawatiran Bpk. Aliman S. dan semua pihak yang perduli bisa dijawab dan diantisipasi. Wallahu'alam***.

*) Mahasiswa pada Fakultas Syariah wal-Qonun, Universitas Al-Azhar, Kairo, dan anggota Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir (KMKM).




Your Ad Here

COMMENTS :

Don't Spam Here

0 Komentar to “Bid'ah dan Revitalisasi Maulid”

Post a Comment

 

Copyright © 2010 Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir. All Rights Reserved. Powered by Blogger and Edited Template by Asyd KiNaNa .