Monday, June 27, 2011

Tahun 2011 ini DEPAG tidak melakukan seleksi mahasiswa baru ke Universitas Al-Azhar

Seleksi Mesir 2011
Tanggal : 27/06/2011 15:03:00 Sumber : Diktis

KEMENTERIAN AGAMA R I
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM

Jln. Lapangan Banteng Barat No. 3 - 4 Telpon : 3812344, 3812642, 3811654, 3812216, 3812679, 811810 JAKARTA Website: www.ditpertais.net


PENGUMUMAN
Nomor : Dj.I/Dt.I.IV/4/HM.00/1206/2011


Berkaitan dengan seleksi calon mahasiswa baru dari Indonesia ke Universitas Al-Azhar Mesir tahun akademik 2011-2012, dengan ini disampaikan bahwa :

1. Sejak tahun 2011 Al-Azhar mewajibkan bahwa semua ijazah Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren yang telah mu'adalah harus diperbaharui kembali sebagai syarat untuk studi ke Universitas Al-Azhar.
2. Namun dikarenakan pengurusan mu'adalah ijazah dimaksud membutuhkan waktu sekitar 3 atau 4 bulan, maka Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama memutuskan pada tahun 2011 ini tidak melakukan seleksi mahasiswa baru ke Univ. Al-Azhar. Keputusan ini diambil sampai ada ketentuan lebih lanjut.

Demikian pengumuman ini, harap maklum adanya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.



Jakarta, 23 Juni 2011

An. Direktur Jenderal
Direktur Pendidikan Tinggi Islam

Ttd.

Prof. Dr. H. Machasin, MA
NIP. 19561013 198103 1 003


Tembusan :
Direktur Jenderal Pendidikan Islam (sebagai laporan)



Sumber Berita

Wednesday, November 3, 2010

ABDULLAH BIN ABBAS

Lisannya bertanya, Qalbunya mencerna

Di antara sahabat-sahabat RasuluLlah SAW, terdapat beberapa sahabat kecil yang ketika melafadzkan syahadat mereka berusia sangat muda, atau ketika mereka dilahirkan, ayah bunda beliau telah muslim. Perhatian RasuluLlah SAW kepada para sahabat cilik ini, tidak berbeda dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Bahkan RasuluLlah SAW sangat memperhatikannya dan meluangkan waktu untuk bermain, bicara dan menasehatinya.

AbduLlah bin Abbas (Ibnu Abbas) adalah salah satu sahabat junior ini. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah. Semenjak kecilnya, beliau sudah menunjukkan kecerdasan dan ke sungguhannya terhadap suatu masalah. RasuluLlah mengetahui potensi besar yang ada pada anak muda ini, seperti halnya beliau melihat potensi yang sama pada Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan sahabat-sahabat lainnya.

RasuluLlah SAW sering terlihat berdua bersama si kecil AbduLlah bin Abbas. Suatu ketika, misalnya, RasuluLlah SAW mengajak Ibnu Abbas RA berjalan-jalan seraya menyampaikan tarbiyahnya kepada pemuda cilik ini:

"Ya ghulam, maukah engkau mendengarkan beberapa kalimat yang sangat berguna?

Jagalah ALlah SWT (ajaran-ajaranNya), maka engkau akan mendapatkanNya selalu menjagamu. Jagalah ALlah SWT (larangan-laran ganNya), maka engkau akan mendapatkanNya selalu dekat di hadapan mu. Kenalilah ALlah dalam sukamu, maka ALlah akan mengenalimu dalam dukamu. Bila engkau meminta, mintalah kepada ALlah. Jika engkau memerlukan pertolongan, mohonkanlah kepada ALlah. Semua hal (yang terjadi denganmu) telah selesai ditulis. Ketahuilah, seandainya semua makhluk bersepakat untuk membantumu dengan apa yang tidak ditaqdirkan ALlah untukmu, mereka tidak akan mampu membantumu. Atau bila mereka berkonspirasi untuk menghalangi engkau mendapatkan apa yang ditaqdirkan untukmu, mereka juga tidak akan dapat melakukannya. Semua aktifitasmu kerjakanlah dengan keyakinan dan keikhlasan. Ketahuilah, bahwa bersabar dalam musibah itu akan memberikan hasil positif; dan bahwa kemenangan itu dicapai dengan kesabaran; dan bahwa kesuksesan itu sering dilalui lewat tribulasi; dan bahwa kemudahan itu tiba setelah kesulitan.
[Hadist Riwayat Ahmad, Hakim, Tirmidzi]

Demikianlah rangkaian prinsip aqidah, ilmu dan 'amal yang manakah hasil tarbiyah RasuluLlah itu. AbduLlah bin Abbas tumbuh menjadi seorang muslim yang penuh inisiatif, haus ilmu, dekat dengan ALlah dan Rasul-Nya.

Suatu ketika, Ibnu Abbas ingin mengetahui secara langsung bagaimana cara RasuluLlah shalat. Untuk itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya: ummahatul mu'minin, Maimunah bint al-Harist. Ketika itu ia melihat RasuluLlah bangun tengah malam dan pergi berwudhu. Dengan sigap Ibnu Abbas membawakan air untuk berwudhu, dengan demikian ia dapat melihat sendiri bagaimana RasuluLlah berwudhu. RasuluLlah - sang murabbi agung itu - tidak menyepele kan hal ini, beliau mengelus dengan lembut kepala Ibnu Abbas, seraya mendo'akan: "Ya ALlah, faqih-kanlah ia dalam perkara agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir Kitab-Mu."

Kemudian RasuluLlah berdiri untuk sholat malam yang dimakmumi oleh isteri beliau, Maimunah. Ibnu Abbas tak tinggal diam, dia segera berdiri di belakang RasuluLlah SAW; tetapi RasuluLlah kemudian menariknya agar ia berdiri sedikit berjajar dengannya. Ibnu Abbas berdiri sejajar dengan RasuluLlah, tetapi kemudian ia mundur lagi ke shaf belakang. Seusai sholat, RasuluLlah memper tanyakan sikap Ibnu Abbas ini, dan dijawab oleh Ibnu Abbas bahwa rasanya tak pantas dirinya berdiri sejajar dengan seorang Utusan ALlah SWT. RasuluLlah ternyata tidak memarahinya, bahkan beliau mengulangi do'anya ketika berwudhu tadi.

Ketika Ibnu Abbas berusia 13 tahun, RasuluLlah wafat. Beliau sangat merasa kehilangan. Tapi hal ini tidak menjadikannya bersedih atau lemah. Dengan segera ia mengajak teman sebayanya untuk bertanya dan belajar pada sahabat-sahabat senior mengenai apa saja yang berkenaan dengan RasuluLlah dan ajaran al-Islam. Logika Ibnu Abbas, saat itu mengatakan bahwa para sahabat masih berada di Madinah, inilah kesempatan terbaik untuk menimba ilmu dan informasi dari mereka, sebelum mereka berpencaran ke kota-kota lain atau sebelum mereka wafat. Namun sayang, ajakan ini tidak ditanggapi oleh rekan-rekan sebayanya, karena mereka rata-rata beranggapan bahwa para sahabat senior tidak akan memperhatikan pertanyaan anak-anak kecil macam mereka.

Ibnu Abbas tak patah arang. Beliau sendiri mendatangi para sahabat yang diperkirakan mengetahui apa saja yang ingin ia tanyakan. Dengan sabar, beliau menunggu para sahabat pulang dari kerja keseharian atau da'wahnya. Bahkan kalau sahabat tadi kebet ulan sedang berisitirahat, Ibnu Abbas dengan sabar menanti di depan pintu rumahnya, hingga tertidur, tergolek beralaskan pakai annya. Tentu saja para sahabat terkejut menemui Ibnu Abbas terti dur di muka rumahnya, "Oh keponakan RasuluLlah, ada apa gerangan? Kenapa tidak kami saja yang datang menemuimu, bila engkau ada keperluan?" "Tidak,"kata Ibnu Abbas, "sayalah yang harus datang menemui anda."

Demikianlah masa kecil Ibnu Abbas. Bagaimana dengan masa dewasanya? Beliau katakan sebagai seorang muda yang berwawasan dewasa, yang lisannya selalu bertanya dan qalbunya selalu mencerna. Umar bin Khattab selalu mengundang Ibnu Abbas dalam majelis syuro'nya dengan beberapa sahabat senior, dan beliau selalu berkata kepada Ibnu Abbas agar ia tidak perlu sungkan menyampaikan pendapat. Inilah bentuk tarbiyah lain yang diperoleh oleh Ibnu Abbas, dengan selalu berada dalam kalangan sahabat senior.

Dalam masa kekhalifahan Utsman bin Affan RA, beliau bergabung dengan pasukan muslimin yang berekspedisi ke Afrika Utara, di bawah pimpinan AbduLlah bin Abi-Sarh. Beliau terlibat dalam pertempuran dan juga dalam da'wah di sana. Di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Abbas mengajukan permohonan untuk menemui dan berda'wah kepada kaum Khawarij. Melalui dialog dan diskusinya yang intens, sekitar 12.000 dari 16.000 khawarij bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam yang benar.

AbduLlah bin Abbas, yang muda yang ulama, wafat dalam usia 71 tahun pada tahun 68H. Sahabat Abu Hurairah RA, berkata "Hari ini telah wafat Ulama Ummat. Semoga ALlah SWT berkenan memberikan pengganti AbduLlah bin Abbas."

Menghargai Perbedaan

Pada suatu waktu, ada seorang mahaguru yang ingin mengambil break dari kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk membawanya pergi melaut sampai ke horizon.

Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut bertanya, "Wahai nelayan, apakah Anda mengenal ilmu geografi?"  Sang nelayan menjawab, "ilmu geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak pasang, maka musim hujan segera akan tiba." "Nelayan bodoh!" kata mahaguru tersebut. "Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu geografi kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu."

Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru tersebut bertanya pada nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang nelayan menjawab bahwailmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui jenis ikan apa saja yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru tersebut bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan struktur tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-lain.

Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa matematika yang dia ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil tangkapannya, menghitung biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil tangkapannya agar dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru tersebut mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi seperempat kehidupannya.

Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari pantai dan mendekati horizon, mahaguru tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam yang menggantung di langit?" "Topan badai akan segera datang, dan akan membuat lautan menjadi sangat berbahaya." Jawab sang nelayan. "Apakah bapak bisa berenang?" Tanya sang nelayan.

Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa berenang. Sang nelayan kemudian berkata, "Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi diutarakan oleh mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan yang dimiliki."

Kemudian nelayan tersebut meloncat dari perahu dan berenang ke pantai sedangkan mahaguru tersebut tenggelam.

Demikian juga dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman, anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat "tahu apa kamu" atau "si anu tidak tahu apa-apa" mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi masalah yang timbul.

Seorang operator color mixing di pabrik tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada atasannya. Intinya, orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang memahami secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang 'luar' yang hanya tahu 'kulitnya' saja.

Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi di pasar, pengetahuan seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan dengan seorang salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan.

Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh orang baru. Kita menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara mendalam mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin saja membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan untuk kemajuan perusahaan.

Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita jarang bertanya pada bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar basa-basi, pendapat dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu.

Padahal, kita tidak bisa bergantung pada kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan orang lain. Keberhasilan kita tergantung pada keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke permukaan, kita tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan yang kita miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain.

Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang lain yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya.

Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah laku seperti sang mahaguru? Bila ya, seberapa sering?

By: Adhi Nugroho

Terapi Mengobati Dengki

Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui tentang hakekat hasad yang sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia.

Kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang kita dengki, baik dalam hal agama maupun dunianya, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepanjangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh si pendengki, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan, fitnah dsb. Dan balasan itu akan dijumpainya di akhirat. Adapun manfaatnya di dunia, orang pendengki itu tujuannya yang terpenting ialah kesusahan orang yang didengkinya,

Kegembiraan orang yang didengki adalah kesedihan pendengki. Dan itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap kehidupan orang yang didengki.
Terapi amal untuk menghilangkan sifat dengki yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika kita merasakan telah timbul iri hati kepada perbuatan seseorang, hendaknya kita berusaha memuji perbuatan baiknya. Jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati. Jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat orang lain maka kita harus berusaha menambahkan nikmat itu untuknya.

Jangan sampai rasa iri itu kita beri kesempatan tumbuh dalam hati kita. Kita harus berusaha menghilangkannya. Kita mesti cepat-cepat menggerojok orang yang kita dengki itu dengan berbagai bentuk kebaikan, mendoakannya, menyiarkan keutamaan-keutamaannya dst. Sampai orang yang kita dengki itu menjadi saudara muslim yang kita cintai, sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Sulit memang, tetapi kita harus usahakan, bila ingin bebas dari sifat dengki dan iri hati.

Bagaimana dengan orang yang didengki? Konon, bila ulama salaf mendengar ada orang yang iri pada mereka, mereka segera memberi kepada orang tersebut berbagai macam hadiah.

Akhirnya mari kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: 'Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana mungkin aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke neraka."

Rasulullah SAW bersabda:

"Jauhilah dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api makan kayu bakar." (HR. Abu Daud).

Tuesday, November 2, 2010

Imam Syafi`i

Biografi tokoh Islam
Abū Abdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 - Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad SAW.

Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.

Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di [[Gaza]], [[Palestina]], namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di [[Asqalan]]; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar [[Sunni]] yang bernama [[Imam Abu Hanifah]].

Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66)."


Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya tulis

Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

Monday, October 25, 2010

Al-Hallaj

Pengusung Paham Eksoteris yang Dianggap Gila dan Berkekuatan Magis

Al-Hallaj atau Husayn ibn Manshur (244-309/957-922) adalah seorang sufi Persia yang dilahirkan di Thus yang dituduh musyrik oleh khalifah dan oleh pakar-pakar Abbasiyyah di Baghdad dan karenanya ia dihukum mati.

Al-Hallaj menjadi tersohor lantaran sya'ir-sya'irnya yang sangat dipuja pada masa-masa itu. Ia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya di kalangan masyarakat Abbasiyyah, dan memiliki pengaruh yang besar di kalangan pengikutnya.

Sejumlah keajaiban atau keanehan erat dengan dirinya, bahkan termasuk juga ilmu syihir. Ia dipandang terlibat dengan organisasi rahasia, bahkan ia dipandang sebagai salah seorang pimpinan gerakan tersebut.

Ia terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya turut mempengaruhi emosi rakyat dalam gerakan tersebut, lantaran penguasa Abbasiyyah menemukan sejumlah bukti di dalam rumah para pengikutnya, yakni sejumlah besar dokumen yang ditulis di atas kertas Cina, yang sebagian ditulis dengan tinta warna keemasan.

Sebagian tersusun di atas lembaran satin atau sutra. Sebagian kertas lainnya merupakan naskah-naskah kritis dari agen-agennya, juga tentang beberapa instruksinya terhadap mereka yang harus disebarluaskan oleh mereka, bagaimana mereka harus menggerakkan rakyat dari satu tahap menuju tahap berikutnya, bagaimana mendekati kelompok masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat intelektual dan pemahaman mereka masing-masing.

Selama bertahun-tahun Al-Hallaj mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina, sebuah kunjuangan terhadap kelompok keagamaan yang memihak kepadanya. Melalui propaganda dan kegiatan-kegiatan keagamaan ini, maka ia diberi gelar "Al-Hallaj", yang merupakan bentuk singkatan dari gelar "Al-Hallaj al-Asrar," pembersih (Al-Hallaj) hati atau kesadaran.

Ia adalah seorang yang cukup membingungkan; dan beberapa kalangan mencatatnya sebagai seorang wali, bahkan ia juga dipandang sebagai bentuk kesadaran paham esoteris; sementara sebagian lainnya menganggapnya melebihi seorang wali pada umumnya, bahwa keajaibannya selalu dipertunjukkan dalam beberapa kesempatan sehingga menimbulkan pengaruh di kalangan pendukungnya; dan sesungguhnya keajaiban itu tersebut dipandang sebagai bagian dari ilmu sihir.

Terdapat beberapa cerita yang menjadi bukti kelemahannya, yakni bahwa dirinya dan warganya telah mengadakan pemujaan terhadapnya dalam peribadatan yang sesat. Kata al-Hallaj; "Tuhan semula terdapat di surga namun ia juga berada di bumi." Bahkan masa mudanya ia mengemukakan pengakuan sebagai burung jalak:

"Pada suatu hari ketika saya berjalan bersama Husyn ibn Manshur (seorang gurunya yang bergelar al-Makki) di sebuah lorong sempit di Makkah. Tiba-tiba aku dikejutkan bacaan dari al-Quran sepanjang perjalanan kami. Maka Dia berkata kepadaku ; "Sesungguhnya akulah yang mengucapkan bacaan-bacaan itu, karena diriku sendiri adalah bacaan-bacaan tersebut."

Semenjak peristiwa itu aku tidak pernah menjumpainya lagi. Ketika Al-Hallaj telah mencapai kemasyhurannya, terdapat keterangan mengenai dirinya:

"Pada suatu kali" (kata seorang hakim yang bernama Muhammad ibn 'ubayd) ".Saya duduk sebagai murid Al-Hallaj. Pada saat itu ia sedang menjalankan zikir di sebuah masjid di Bashrah sebagai pengajar Al-Quran, hal ini terjadi sebelum terjadi pengakuannya yang sangat menghebohkan. Pada suatu hari pamanku sedang bercakap dengannya, ketika itu saya turut duduk mendengarkan percakapan mereka berdua."

Maka Al-Hallaj berkata : 'Saya harus segera meniggalkan Bashrah !''' Mengapa harus demikian?', tanya sang paman. 'Orang-orang di sini terlalu mempergunjingkan tentang diriku, dan aku muak dengan itu,' jawab Al-Hallaj. 'Apa yang mereka gunjingkan?' tanya sang paman.

'Mereka menganggapku mampu mengerjakan apapun,' kata Al-Hallaj; '..dan aku tidak mampu memberi mereka penjelasan yang dapat membebaskan mereka dari ketersesatan anggapan tersebut, maka mereka tetap dalam anggapannya bahwa Al-Hallaj berkuasa mengabulkan do'a, bahkan kata mereka Al-Hallaj memiliki berbagai mu'jizad yang nyata. Siapakah gerangan aku ini, sehingga segalanya mesti diserahkan kepadaku?'

'Kuceritakan sebuah cerita..,' sambung Al-Hallaj, '..seorang laki-laki datang menyerahkan sejumlah dirham kepadaku untuk dibagikan kepada fakir miskin. Sedang pada saat itu tidak kujumpai seorang fakir pun, sehingga dirham tersebut ku taruh di atas kesetan masjid, yang berdekatan dengan tiang. Cukup lama aku menunggu, namun tidak seorang fakir pun datang mengambilnya, dan setelah menjelang malam kutinggal pulang. Menjelang fajar aku kembali duduk di mesjid dekat tiang tersebut, sebagaimana biasanya, dan aku mulai memanjatkan do'a; maka tiba-tiba kalangan dervishes, yakni para sufi miskin, berkumpul mengitariku. Aku segera menghentikan do'a, lalu mengangkat kesetan tersebut dan membagi-bagikan uang kepada mereka. Maka mereka kemudian menyebarkan desas-desus bahwa hanya dengan menggesek-nggesek debu saya dapat mengubah debu tersebut menjadi perak!' papar Al-Hallaj."

Al-Hallaj menceritakan kisah yang sejenis itu, hingga sang paman mengucapkan salam seraya meninggalkannya. Semenjak itu sang paman tidak pernah lagi datang kepaa Al-Hallaj. "Dia adalah seorang pembohong di kalangan masyarakat," kata sang paman."Seharusnya kita tidak perlu mendengar lagi kisah-kisahnya."

Al-Hallaj pertama kali menjadi murid tharikat Syaikh Sahl di al-Tustari, kemudian ia meninggalkannya berganti berguru kepada al-Makky, tidak lama kemudian ia meninggalkan al-Makki dan mencoba bergabung menjadi murid al-Junaid al-Baghdadi.

Namun al-Junaid menolaknya seraya berkata : "Saya tidak menerima seorang murid yang gila." Seseorang yang menemani al-Hallaj berusaha menasihatinya, seusai perjumpaan dengan al-Junaid, namun al-Hallaj menjawab, "Aku menghargai al-Junaid semata karena usianya; bahwa derajat kesufian merupakan suatu anugrah Tuhan dan tidak dapat dipelajari dari Sang guru."

Belakangan al-Hallaj menjadi sangat tersohor. Ia seringkali menggelisahkan masyarakat sekelilingnya lantaran beberapa pembicaraannya yang aneh mengenai Tuhan, misalnya, "Wahai Engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri." Perkataan semacam itu menunjukkan kedekatan al-Hallaj terhadap Tuhannya.

Tidak hanya sekali al-Hallaj menangis di tengah-tengah keramaian pasar seraya mengutarakan perkataan seperti ini : "Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri...maka celakalah orang yang mendapatkan dirinya lenyap bersama kehadiran Tuhan dan dirinya akan lenyap bersama terjadinya kesatuan tersebut."

Perkataannya tersebut membuat orang-orang yang mengerumuninya di pasar meneteskan air mata. Terdapat sejumlah kisah tangisan yang sejenis ini, namun ketika orang-orang di sekitar mulai turut menangis, justru al-Hallaj tertawa keras-keras.

Ia seringkali memamerkan keajaiban yang berkaitan dengan uang, misalnya hanya dengan menggosok-nggosokkan tangannya di atas tikar, ia dapat mendatangkan timbunan mata uang dari emas, kemudian ia memanggil masyarakat miskin untuk mengambil uang tersebut sekehendak mereka; Suatu saat ia melemparkan dompet yang berisi banyak uang ke tengah sungai Tigris, beberapa lama kemudian datang seorang utusan membawa kembali dompet tersebut dalam keadaan utuh dan kemudian seluruhnya diberikan kepada utusan tersebut. Dompet tersebut sebelumnya diterima al-Hallaj sebagai hadiah atas jasa pengobatannya;

Beberapa kalangan bangsawan meminta bantuan al-Hallaj untuk mengobati seorang anak yang menderita sakit keras. Maka al-Hallaj berkata : "Ia segera sembuh." Anak tersebut pun segera sembuh, bahkan ia tampaknya seperti tidak pernah menderita sakit. Kabar kemampuan al-Hallaj dalam pengobatan seperti ini segera tersebar sampai ke penjuru yang jauh. Namun sudah barang tentu tidak semua orang mempercayai keajaibannya tersebut.

Hallaj telah memperdayakan sejumlah orang untuk mengikuti jejaknya, di antara mereka terdapat beberapa kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan sekte reaksioner, oleh karena itu ia berusaha menerima pemikiran mereka dan menjadikannya sebagai pemikirannya sendiri; dan untuk itu ia mengirimkan seorang utusan kepada ibn Nawbakht, seorang anggota dari sekte ini.

Ibn Nawbakht adalah seorang intelektual yang cerdik. Kepada utusan al-Hallaj tersebut ia berkata, "Guru anda memang mahir dalam tipuan sulap. Katanya, 'Saya adalah orang yang pantas disebut sebagai pejuang cinta karena tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang lebih menyenangkan diriku melainkan perempuan, karenanya aku sangat membenci kebotakan rambut di kepalaku. Maka kubiarkan rambutku tumbuh memanjang, lalu aku menggulungnya di dalam Turban (sejenis pici yang berbentuk panjang) yang kukenakan. Dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam.'

"Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam. Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan jenggotku menjadi hitam kembali, niscaya saya akan menurut ajaran apa saja yang disebarkannya. Aku akan memanggilnya sebagai wakil dari seorang nabi. Dan bahkan jika ia berkenan, aku akan memanggilnya sebagai Nabi atau bahkan sebagai "Yang Agung" (Tuhan)," sambung Ibn Nawbakht.

Cuplikan di atas menunjukkan sikap ibn Nawbakht sebagai "orang berpendidikan yang cerdik", dengan pengandaiannya tersebut ia mencoba menangkis kepercayaannya terhadap al-Hallaj, dan sekaligus melecehkan kemashurannya, namun pengandaiannya tersebut sungguh-sungguh menjadikan kenyataan lantaran keajaiban al-Hallaj.

Bahkan beberapa kalangan pejabat menjadi pengagum dan pengikut al-Hallaj, di antara mereka adalah ibu Khalifah al-Muqtadir dan orang kepercayaannya yang bernama al-Nashir. Ia menyebarkan eksistensi ketuhanannya di tengah-tengah kalangan keluarga 'Ali.

Pada tahun 301/913 ia dipenjara selama beberapa tahun lantaran ia terlibat dalam suatu gerakan yang terlarang, dan lantaran ia menyebarkan ajaran yang kacau (sesat) sehingga akhirnya ia dijatuhi hukuman bunuh, berdasarkan keputusan tokoh-tokoh agama (baik kalangan eksoterik maupun non kalangan eksoterik) bahwa ia menyebarkan ajaran syirik.

Pada saat itu sedang berlangsung pemberontakan Qaramithah, demikian juga tengah berlangsung gerakan kebangkitan Fathimiyyah di Afrika Utara, di mana tokoh-tokoh gerakan tersebut menggunakan emosi keagamaan dalam melancarkan propaganda politik. Dalam kondisi yang demikian pihak ortodoks memandang doktrin-doktrin gerakan tersebut sebagai organisasi yang berkedok agama yang memiliki maksud-maksud tertentu di balik kedok spiritual mereka.

Dalam setiap kesempatan Hallaj menyampaikan pernyataan secara umum bahwa dirinya sendiri adalah seorang musyrik, hal ini yang terkandung di dalam ucapannya : "Saya telah mencabut keimananku terhadap Tuhan, dan pencabutan semacam ini bagiku merupakan kewajiban, namun hal ini dipandang suatu yang keterlaluan bagi setiap muslim,"

Dan juga dalam perkataannya, "Pernyataan pengakuan terhadap Tuhan merupakan suatu kebodohan, penuh ketaatan dalam mengabdi kepada Tuhan adalah kehinaan, berhenti memusuhi Tuhan adalah kegilaan" dan seterusnya. Kata Hallaj, "Menganggap tuhan sendiri dapat membaurkan diri-Nya adalah suatu kemustahilan dan merupakan perbuatan syirik.".

Diantara paham antinomianisme al-Hallaj adalah penafsirannya mengenai tawhid (Kesatuan Ketuhanan), di mana Hallaj menyatakan diri benar-benar sebagai Tuhan tanpa sedikit pun memiliki sifat-sifat manusia.

Pada suatu ketika seorang asal Isfahan yang bernama Ali ibn Sahl mempergunjingkan permasalahan ini, maka Hallaj segera menuju ke Isfahan, dan agak sedikit kasar al-hallaj berkata : "Engkau sungguh lancang telah berani membicarakan tentang "kebijaksanaan" sedang aku sendiri masih hidup."

Pada akhir hidupnya, al-Hallaj menjalani hukuman di depan masyarakat umum sehingga ia meninggalkan kesan mendalam di tengah pengikutnya.

Al-Hallaj terkenal dengan pernyataan "Ana al-Haqq" (atau "Akulah Yang Maha Mutlaq", atau "Yang Maha Nyata", "Kebenaran", dan juga dapat berarti "Akulah Tuhan"). Ahmad ibn Fatik berkata bahwa ia pernah mendengar bahwa Hallaj berkata : "Aku lah Yang Maha Benar di mana Kebenaran tersebut adalah milik Tuhan dan Aku mengenakan Esensi-Nya, sehingga tidak ada perbedaan di antara Kami (yakni tidak ada perbedaan antara Aku dan Tuhan)."

Pernyataannya tersebut merupakan keanehan Hallaj dibanding tokoh lainnya, bahkan ia berada di tengah-tengah tokoh awal dan akhir yang tidak dapat disejajarkan dengan Kemutlakan Tuhan. Perkataan al-Hallaj "Ana al-Haqq" dalam sebuah syairnya pernah diungkapkan oleh imam al-Junaid. Namun kalimat tersebut dalam ungkapan al-Junaid mengandung pengertian bahwa "melalui Yang Haqq engkau terwujud."

Ini tidak berarti bahwa al-Junaid menolak pengetahuan Tuhan tanpa adanya pihak lain (tawhid), bahkan ia menyatakan bahwa ungkapan tersebut sebagai penghapusan pembatas antara manusia dengan Tuhan. Pada ujung perjalanan manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap sebagai Tuhan (al-"abd yabqa al-'abd wal-Rabb yabqa al-Rabb).

Namun kesadaran manusia akan Tuhan tidak mengenal batas, tanpa pertentangan, tanpa syarat tertentu, dan bahkan tanpa unsur kemusyrikan (penyekutuan realitas lain di samping Tuhan), di mana hal ini muncul dari pemikiran dan konseptualisasi semata.

Hallaj dan ajarannya mengakui bahwa terdapat kesatuan pribadi; di mana seorang individu mencapai sifat-sifat ketuhanan yang secara alamiah hal ini akan mendorong pada pemujaan individual di sekitar alam semesta ini.

Salah seorang sufi mengungkapkan karya-karyanya dan pernyataannya sebagai berikut: "Dengan sangat cerdas al-Hallaj telah menuliskan berbagai formulasi baik secara alegoris, teologis maupun yuridis. Seluruh ungkapan mistiknya menyerupai pandangan tokoh-tokoh yang pertama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih kuat, sebagian lebih samar, beberapa hal lebih layak dipakai, dan lebih baik dibanding lainnya. Ketika Tuhan memberikan pandangan terhadap seseorang, dan setelah itu manusia berusaha menyatakan apa yang dilihatnya dengan kekuatan ma'rifat yang tinggi ke dalam kata-kata, dan dengan bantuan Tuhan semata, dan lebih dari itu ia mengungkapkannya di dalam diri sendiri secara tiba-tiba saja, dan dengan pengagungan diri sendiri, maka perkataan tersebut menjadi sulit dipahami."

Pada zamannya sendiri, oleh kebanyakan sufi, al-Hallaj dipandang sebagai orang musyrik. Sekalipun demikian setelah kematiaannya, mulai timbul propaganda membela kebaikan al-Hallaj, khususnya propaganda tersebut berkembang di Transoxania, yang memujanya sebagai kurban syahid lantaran sempitnya paham eksoteris.

Sekalipun ia telah lama meninggal, namun karya puisi sufisnya senantiasa mengenangkan perjuangannya. Dalam hal-hal tertentu diri al-Hallaj terpecah menjadi dua pribadi: ibn 'Arabi memandang bahwa pada satu sisi pandangan al-Hallaj adalah pandangan seorang wali, namun pada sisi lain ia memiliki sebuah pandangan yang melebihi kebesaran nabi.

Sehingga ia diperkatakan sebagai nabi, sisi pandangan yang kedua inilah yang menyebabkan ia pantas diberi hukuman. Sungguh pun demikian al-Hallaj menjadi sebuah misteri atau teka-teki, di mana di dalam sejumlah puisinya sendiri terdapat beberapa hal yang saling bertentangan :

"Tuhan melempar seorang laki-laki ke tengah samudera dengan tangannya terbelenggu di balik punggung, seraya berkata kepadanya : "berhati-hatilah, atau engkau akan tenggelam ke dalam air !"

Beberapa sya'irnya yang sejenis ini lebih dikenali oleh kalangan mistisisme, bahkan secara khusus merupakan pengungkapan yang bercorak dramatis. "Ketika datang dahagaku, kuhadapkan wajah kepada secangkir Anggur, di dalam kegelapan cangkir aku melihat sebuah bayangan Diri-Mu !."

Dan dalam sya'irnya yang lain :

Aku adalah Cintaku ; Cintaku adalah Aku;
Dua jiwa bertempat di tubuh ini.
Jika engkau memandangku, sesungguhnya Dia yang kau pandang;
Dan jika engkau memandang-Nya, niscaya di sana engkau akan mendapatkan diriku !.

Dan dalam sebuah sya'irnya yang lainnya ; "Seorang Nabi adalah pelita penerang dunia; tetapi makrifat (ecstasy) merupakan cahaya dari Sisi ruang yang terdalam. Sang ruh berhembus ke dalam diriku, dan ia tetap bersamaku sekalipun ajal telah menghampiriku. Tampak jelas oleh mataku saat Musa sedang berdiri di atas Sinai."

Bid'ah dan Revitalisasi Maulid

Oleh: Muhammad Hikam Masrun*
Tanggapan untuk "Maulid Nabi; antara Inovasi Terlarang dan Kemubajiran Kultural
Pada edisi (3/05) Opini Radar Banjarmasin, Saudara Aliman Syahrani menyampaikan kegusarannya seputar seremonial Maulid. Sedari tidak ditemukannya landasan primer, sehingga maulid-an dianggap sebagai inovasi 'terlarang' sampai pengaruh positifnya yang tampak tak terlihat, atau dengan ungkapan beliau sendiri, (oknum-oknum) mereka yang mengotori sunnah: minum dengan tangan kiri, atau para ibu-ibu yang biasanya karena kesibukannya menyiapkan hidangan sehingga lalai melaksanakan kewajiban shalat.

Di sisi lain, penulis juga mengkritisi komersialisasi para group-grup Barzanji dan Habsy dengan alasan (oknum) yang memasang tarif pementasan atas nama agama, bahkan penulis mengakhiri fenomena ini dengan "naudzubillah". Tak ketinggalan, sisi pragmatis maulid yang dipersoalkan, terutama kaitannya dengan pengembangan dakwah yang berwawasan peningkatan kualitas manusia. Setelah itu juga wacana lawas tentang ketidak-nyunnah-an maulid, karena tidak tercantum pada teks-teks primer Islam.

Menariknya, penulis mengamini relevansi makna kontekstual peringatan maulid di tengah merajalelanya pola hidup destruktif, seperti materilalisme, hedonisme dan yang lainnya. Lebih jauh, beliau kemudian mengatakan bahwa maulid Nabi adalah inovasi terlarang (bid'ah) dengan asumsi historis, sehingga harus dieliminasi. Karena itu, maulid sejatinya diganti dengan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih disemarakkan karena dana yang selama ini terkuras untuk maulid menjelma menjadi budaya kemubajiran.

Saya menangkap kegusaran penulis ini sebagai sesuatu yang patut diapresiasi, setidaknya karena beliau menawarkan alternatif seremonial Maulid yaitu kepada kegiatan kongkrit yang lebih mendesak dan pragmatis, seperti kegiatan sosial, membangun masjid, mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam dan lain sebagainya. Tampaknya, penulis mengambil skala prioritas dalam memaknai kembali maulid Nabi Saw.

Namun ada beberapa poin yang sepertinya perlu kembali diperhatikan. Dalam tulisan itu misalnya, diangkat proposisi Sunah dan Inovasi (bid'ah) penyelenggaran Maulid. Tidak bermaksud apa-apa, wacana ini tentu saja nyaris kehilangan titik pentingnya. Di samping bangunan epistimologis hukum Islam yang prematur, wacana ini berpotensi akan kontraproduktif terutama jika dikaitkan dengan realita masyarakat dan metode dakwah. Selebihnya, saya setuju bahwa memang diperlukan upaya memaknai kembali maulid Nabi Saw.

Sunnah dan Inovasi

Ketika membahas proposisi bid'ah (inovasi), ulama mempunyai dua pendekatan yang substansi tujuannya sama: 1) pendekatan terperinci Imam Al-Izz Ibn Abdissalam yang mengukur bahwa bid'ah adalah segala sesuatu yang belum pernah dikerjakan Nabi dan terbagi kepada beberapa 5 hukum: wajib, haram, mandub (terpuji), makruh dan mubah; dan 2) pendekatan global Ibnu Rajab al-Hanbali yang lebih tertekan pada arti etimologis-nya: sesuatu yang baru dan tak memiliki dasar (petunjuk) dalam syariat. Sehingga apa pun yang tidak pernah dilakukan Rasulullah namun memiliki pijakan dalam syariat maka itu bukanlah bid'ah --meskipun bisa dikatakan bid'ah secara bahasa (etimologi).

Kedua pendekatan ini sepakat bahwa substansi bid'ah (inovasi) yang terlarang (al-Madzmumah) yaitu yang tidak memiliki landasan dalam syariat (laisa laha ashlun fi as-syari'ah). Inilah yang dimaksud dengan hadist: "Kullu bid'atin dhalalah." Pemahaman seperti ini diadopsi oleh mayoritas ulama dan pakar otoritas fikih seperti Imam Syafi'i, Imam Ghazali, Ibnu al-Atsir, Imam Nawawi Rahimahumullah, dan lainnya. Singkatnya, menurut mereka, secara substantif bid'ah itu terbagi pada beberapa tingkatan hukum.

Karena itulah, kita temukan hadist riwayat Imam Muslim ra. tentang inovasi yang dianjurkan dalam Islam, "Man sanna sunnatan Hasanatan falahu ajruha wa ajru man 'amila biha ila yaumil qiyamah. Wa man sanna sunnatan sayyiatan fa'alaihi wizruha wa wizru man 'amila biha ila yaumil qiyamah" (Barangsiapa yang melakukan sunnah [inovasi] yang baik maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang melakukan sunnah [inovasi] yang buruk maka atasnya dosa dan [juga] dosa orang-orang yang melakukannya hingga hari kiamat). Kita juga akan menemukan sahabat seperti Umar ra. yang menyebut aktivitas tarawih berjamaah di mesjid sebagai bid'ah (inovasi) yang baik; Ibnu Umar ra. yang menyebut shalat Dhuha berjamaah sebagai bid'ah.

Penyelenggaran maulid pada dasarnya adalah boleh, karena ia bisa dikategorikan adat. Jika melihat pada penyelenggaraan maulid saat ini, hemat saya, jika isi penyelenggaraannya tidak ditemukan sesuatu yang melanggar hukum Islam maka itu termasuk dalam bid'ah mandubah (inovasi yang terpuji). Namun jika sebaliknya, maka formulasi hukum-nya akan berbeda. Wajar jika Imam Ibnu Hajar ra. mengatakan agar sebaiknya isi maulid itu adalah hal yang baik seperti memberi makan orang, melantunkan pujian kepada Rasul yang menggetarkan hati, atau perbuatan mubah lainnya.

Sehingga me-eliminasi maulid, menurut saya kurang tepat karena itu juga berarti melenyapkan kegiatan tersebut, sekalipun dengan alasan-alasan pragmatis atau fakta sejarah. Sejatinya, kultur yang ada dipertahankan namun (juga) dipoles dan di-revitalisasi. Misalnya, tentang ketidakpahaman lirik/prosa Maulid, dapat diatasi dengan upaya transalasi (penerjemahan), penghayatan dan internalisasi. Tentang ishraf (berlebih-lebihan), bisa diatasi dengan metode dan isi dakwah dari penceramah pada perayaaan maulid itu. Mengeliminasi kultur maulid di tengah setumpuk alternatif yang lebih realistis bisa dikatakan sebagai tindakan terlalu jauh, meski saya yakin penulis sendiri berniat baik.

Maulid adalah potensi budaya yang patut disemarakkan dan dan diapresiasi, terlebih bila dikaitkan dengan pergeseran budaya saat ini. Ia adalah jihad kultural, jika dilakukan dengan tepat. Karena itu memperingati maulid tidak terbatas pada bulan Rabiul Awal an sih, tapi harus dilakukan sepanjang jasad masih dikandung badan. Adalah kewajiban setiap individu, terutama suara dominan—meminjam istilah Hiesberger (1981)— yaitu pemerintah dan ulama untuk bersama merevitalisasinya. Dan semoga kekhawatiran Bpk. Aliman S. dan semua pihak yang perduli bisa dijawab dan diantisipasi. Wallahu'alam***.

*) Mahasiswa pada Fakultas Syariah wal-Qonun, Universitas Al-Azhar, Kairo, dan anggota Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir (KMKM).

Daptar isi

Alamat KMKM

My photo
Sekretariat: 02/01 St. Mahmud Banan, Qasar Baron:1 Blok:20, 9th District Nasr City Cairo Telp: 202 0108242360, Egypt

Mutiara Hikmah

"Umar bin Abdil Aziz mengatakan: Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan."

SMS GRATIS


Make Widget

 
Label:
Recent Posts

Copyright © 2010 Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir. All Rights Reserved. Powered by Blogger and Edited Template by Asyd KiNaNa .