Friday, August 6, 2010

TAKUT MENGHADAPI UJIAN, PERLUKAH?

Oleh: Lailatis Syarifah, Lc. (Ummu Neilfouz)

Ujian Sebagai Pengukur Kemampuan
Selama kurang lebih satu bulan mendatang, mahasiswa al-Azhar akan menghadapi ujian. Oleh karena itu, berbagai kegiatan mulai dinonaktifkan tanpa terkecuali memandang perlunya persiapan untuk menghadapi ujian. Mengapa ujian ini sangat menyita perhatian? Sampai-sampai semua kegiatan ditutup sementara. Apakah ujian ini sangat penting? Haruskah ada ujian?

Ujian harus terus ada, baik dalam akademis maupun dalam kehidupan. Karena hanya dengan ujian kita akan mengenal kemampuan diri. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, "bil imtihân yukramul mar`u au yuhân." Jadi, karena hanya dengan ujian kita dapat mengerti potensi diri maka ujian haruslah menjadi momen yang sangat berarti bagi kita. Bukan sekadar lewat dan tidak mendapat perhatian lebih. Oleh karena itu, ada beberapa aspek penting yang harus kita siapkan sebelum menempuh ujian.

Aspek penting pertama adalah kesiapan mental. Untuk ini ada beberapa hal yang harus dicamkan baik-baik:
Ujian dalam belajar adalah biasa. Ujian hiduplah yang paling penting, karena bagaimana kita hidup di dunia akan menentukan kehidupan kita di akhirat. Jadi, jangan takut menghadapi ujian dalam belajar.
Ujian ini bukanlah tujuan, ia hanyalah sebuah cara untuk mengetahui kemampuan diri dalam memahami pelajaran dari kurikulum yang ditentukan. Jadi, jika gagal dalam ujian ini masih banyak hal lain yang bisa kita coba dan berhasil.
Tidak ada kata gagal dalam ujian. Yang ada hanyalah keberhasilan tertunda. Jadi, jangan pernah berkecil hati.
Lulus atau tidak adalah ketentuan Allah Yang Maha Agung sebagai ujian hidup. Jadi, apa pun hasilnya kita tetap akan bersyukur. Allah telah berjanji akan memberikan kenikmatan berlipat bagi mereka yang mau bersyukur.
Niat ujian Lillâhi ta`âla.
Jika lima hal di atas sudah kita camkan dan merasuk ke dalam jiwa, berarti mental kita sudah kuat dan siap. Setelahnya kita hanya perlu mempersiapkan fisik dan belajar dengan baik.

Belajar Tidak Harus Memerlukan Bimbingan
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi "pintar". Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru menimbulkan masalah bagi anak dan remaja. Begitu pula di sini, mahasiswa berbondong-bondong menuju tempat bimbingan yang tidak jarang menghabiskan banyak waktu, sehingga menguras habis energi dan otak tanpa mendapatkan hasil yang sebanding.
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi.
Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun. Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai seumur hidup agar terhindar dari kerusakan.

Menurut MacLean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/three in one brain (dalam DePorter & Hernacki, 2001). Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua sistem limbik dan yang ketiga adalah neokorteks.

Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal dari panca indra. Perilaku yang dikembangkan bagian ini adalah perilaku untuk mempertahankan hidup, dorongan untuk mempertahankan spesies.
Di sekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas. Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Selain itu sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam otak yaitu neokorteks.

Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupkan 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendenpendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang lebih tinggi berada, diantaranya adalah : kecerdasan linguistik, matematika, spasial/visual, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi.

Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya yang memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika sang individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi "pintar" sehingga kursus-kursus atau pun bimbingan secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi.

Karakteristik Cara Belajar
Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti disebutkan diatas, menurut DePorter & Hernacki (2001), adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik Perilaku Individu Dengan Cara Belajar Visual
Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Rapi dan teratur.
  • Berbicara dengan cepat.
  • Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik.
  • Teliti dan rinci.
  • Mementingkan penampilan.
  • Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
  • Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual.
  • Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik.
  • Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar.
  • Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara tertulis).
  • Merupakan pembaca yang cepat dan tekun.
  • Lebih suka membaca daripada dibacakan.
  • Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.
  • Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara
  • Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.
  • Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat "ya" atau "tidak'.
  • Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/berceramah.
  • Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik.
  • Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata.
2. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Auditorial
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja.
  • Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik.
  • Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca.
  • Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras.
  • Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara.
  • Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita.
  • Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik.
  • Berbicara dengan sangat fasih.
  • Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya.
  • Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat.
  • Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar.
  • Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi.
  • Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada menuliskannya.
  • Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor atau komik.
3. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Kinestetik
Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Berbicara dengan perlahan.
  • Menanggapi perhatian fisik.
  • Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka.
  • Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain.
  • Banyak gerak fisik.
  • Memiliki perkembangan otot yang baik.
  • Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi.
  • Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung.
  • Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca.
  • Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal).
  • Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama.
  • Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut.
  • Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
  • Pada umumnya tulisannya jelek.
  • Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik).
  • Ingin melakukan segala sesuatu.


Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai. Bagi para mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar, cobalah untuk mulai merenungkan dan mengingat-ingat kembali apa karakteristik belajar Anda yang paling efektif. Setelah itu cobalah untuk membuat rencana atau persiapan yang merupakan kiat belajar Anda sehingga dapat mendukung agar kemampuan tersebut dapat terus dikembangkan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan berbagai media pendidikan seperti tape recorder, video, gambar, dan lain-lain. Selamat mencoba. Semoga bermanfaat. Wallâhu A'lam bissowâb.

Strategi Dakwah Islamiyah di Jaman Modern

Oleh Khairy Abusyairi

Kurun waktu perjuangan Rasulullah Saw. telah kita lewati sejak 14 abad yang lalu. Sebuah perjuangan dan pengorbanan dalam menjalankan misi yang diembankan keatas pundak beliau untuk berdakwah menyeru dan mengajak seluruh manusia agar meng-esakan Allah SWT sebagai Tuhan yang sebenar untuk disembah dan mengajak agar manusia mengakui beliau adalah salah seorang utusan Allah. Secara singkat dakwah Rasulullah boleh dikatakan sangat berhasil. Kini giliran kita melanjutkan misi dakwah Rasulullah tersebut juga mempetahankan dan melestarikan hasil jerih payah yang telah beliau tinggalkan, yaitu ajaran Islam.

Konteks strategi dakwah yang dulu dan sekarang tentu berbeda karena memang situasi dan tantangannya berbeda pula. Namun tujuan dan sasaran dakwah haruslah tetap sama yaitu tauhidillah. Dulu Rasulullah berdakwah dalam situasi dan kondisi dimana kebanyakan manusia benar-benar tidak mengenal Allah Swt. dan sama sekali tidak tahu tentang norma-norma akhlak yang terpuji. Yang ada hanya kekejaman, kekerasan tak berprikemanusiaan, seperti merampas hak-hak orang lain, mengubur hidup-hidup anak perempuan dan kebiasaan mabuk-mabukan. Semua itu bukanlah hal yang asing bagi masyarakat dakwah Rasulullah saat itu. Caci maki dan penyiksaan bahkan pengucilan dilancarkan dengan gencarnya oleh kaum kafir Quaraisy tehadap pengikut Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan hal itu semua agar gerakan Dakwah Islamiyah menjadi sempit sekaligus agar bisa menjadi propaganda kepada orang-orang bahwa siapa yang memilih beriman berarti ia memilih penderitaan. Betapa berat dan besarnya tantangan Dakwah Islamiyah yang dihadapi Rasulullah dan umat Islam masa itu..

Kini kita berada di masa yang sangat berbeda. Perubahan zaman tentu diiringi dengan datangnya tantangan dan problematika yang lebih banyak, sulit menghadapinya, baik masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Muhammad Qutb dalam bukunya yang berjudul “Jahiliyah Abad XX” menyinggung gejala-gejala kemunduran dunia keabad-abad sebelumnya ‘Return to back future’. Kemunduran yang beliau maksudkan adalah seolah-olah kemajuan peradaban yang pesat yang terjadi di saat ini tak ada bedanya dengan peradaban Yunani dan Romawi pada masa lampau. Dimana kemajuan ekonomi, politik dan ilmu pengetahuannya mampu mendominasi sebagian besar pelosok-pelosok dunia, termasuk Jazirah Arab. Tapi mengapa masa tersebut disebut masa kebodohan (jahiliyah)? Jawabannya adalah karena kemajuan yang mereka capai dalam segi material tidaklah begitu bernilai dibanding kemajuan dalam segi spiritual. Itu karena mereka mempertuhankan kemajuan tersebut sementara jiwa mereka kosong dari keimanan kepada Allah Swt. Dan malah justru kemajuan tersebut membuat mereka menjadi tidak percaya dengan adanya hari akhirat. Kejahiliyahan spiritual juga berbentuk penafian terhadap hukum Allah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt: ”Apakah mereka mengehendaki hukum jahiliyah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin”. (QS. Al-Ma’idah: 50)

Dalam pembahasan strategi dakwah di abad modern, kita tak bisa melepaskan diri dari upaya memahami situasi yang ada, yaitu bahwa tantangan Dakwah Islamiyah saat ini adalah jahiliyah modern yang memiliki gambaran sebagai berikut:
1. Tidak beriman kepada Allah SWT, atau tidak adanya keyakinan mutlak atas ketuhanan Allah dan keyakinan bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak atas ketentuan hukum.
2. Adanya pemerintahan thagut di muka bumi yang memalingkan manusia dari syari’at Allah Swt.
3. Kerusakan di bidang pemikiran seperti paham sekularisme, komunisme dan sebagainya.
4. Kerusakan di bidang moral.
5. Kerusakan di bidang politk, ekonomi sosial, seni budaya dan lain-lain.

Semua fenomena diatas sangat memerlukan solusi yang tepat dan benar. Memahami objek dakwah sangat menetukan metode penyampaian yang akan dipergunakan. Namun strategi dakwah dalam menghadapi tantangan seperti yang tersebut diatas secara umum antara lain:
1. Memahami betul manhaj dakwah Rasulullah Saw. Tauladanilah Rasulullah dari segi kepribadian, sifat dan sikap beliau dalam berdakwah.
2. Jadilah qudwah hasanah bagi semua orang. Karena hal ini membuat dakwah kita lebih mudah diterima dan berkesan kuat di hati orang lain.
3. Mengantisipasi segala bentuk tantangan dakwah dengan konsekuensi harus mangamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4. Berusaha memurnikan kembali pemahaman terhadap Islam yang diselewengkan serta menandingi arus gerakan westernisasi dan kristenisasi dengan memperbanyak media dakwah yang memungkinkan seperti mempergunakan televisi, radio, media cetak dan sebagainya. Wallahu a’lam

Edisi NO.39. tahun X. november 1995 M./jumadil akhir 1416 H.

Sudahkah Saya Shalat?

Oleh: Syarif Amir Mahmud

Bicara shalat memang sudah basi, terlebih di kalangan para cendikiawan yang sudah paham betul tentang rukun Islam, bahkan -barangkali- sudah bosan dengan shalat itu sendiri. Kebosanan tersebut sedikit banyaknya disebabkan oleh derasnya arus perkembangan nalar manusia sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, disamping juga dikarenakan prinsip-prinsip sains yang sudah menjadi landasan berpikir manusia abad modern. Jadi, wajarlah kalau hasil produk berpikirnya juga canggih. Artinya, segala sesuatu yang sudah menjadi dogma (kepercayaan) baku sebuah ajaran, selalu dilihat lewat kacamata sains. Kalau sesuai, ya diambil, kalau nggak ya harus dibuang.

Shalat adalah salah satu contoh. Menurut pandangan para antropolog (ahli kebudayaan kuno), shalat adalah salah satu bentuk ritual sebuah masyarakat. Shalat merupakan hasil refleksi (renungan) panjang mereka tentang identitas jagat raya ini. Didalam shalat, terdapat beberapa gerakan yang mengisyaratkan makna tertentu. Jadi, istilahnya, shalat itu adalah sebuah literatur (buku) yang berbentuk gerakan-gerakan. Lewat shalatlah seorang yang beragama bisa membaca kembali nilai-nilai yang telah diajarkan nenek moyangnya beberapa abad yang lalu.

Diakui memang, menurut mereka, setiap komunitas masyarakat tentu mempunyai corak dan gaya hidup masing-masing. Demikian pula dengan shalat. Shalat memiliki bentuk yang beragam sesuai dengan sikon, kepercayaan dan sosiohistoris (sejarah hidup) masyarakatnya. Jadi, prinsip berpikir semacam ini pada gilirannya meniscayakan sebuah asumsi (pemikiran) bahwa tidaklah tertutup kemungkinan di zaman sekarang akan ada lagi bentuk shalat dengan gaya baru. Yang penting kan nilai spiritnya! Demikian -akhirnya- semboyan yang sering terkumandang.

Kalau ditilik lewat kaca mata logika, memang ada benarnya juga. Yang penting kan esensinya. Tetapi mengingat pola berpikir kawula muda kita yang terkesan lebih bersifat ambisius, agaknya kepercayaan semacam ini bukannya memberikan pencerahan, tetapi justru malah menjauhkan mereka dari nilai-nilai yang terkandung dalam gerakan ritual tadi. Akhirnya karena ingin mengambil jalan pintas, shalatnya cukup dengan memejamkan mata sambil merenung.

Sebenarnya pekerjaan seperti itu nggak salah, malahan Sidarta Gautama (seorang bijak penggagas ajaran Budha) menganjurkan shalat alathul atau yoga, yang dalam istilah sufisme-nya disebut dengan muraqabatunnafs (selalu introspeksi diri). Akan tetapi pada prakteknya, yang lebih kelihatan adalah gayanya, keren-nya dan juga kesan keberaniannya dalam memeraktekkan gagasan yang menurut mereka baru.

Baru? Apanya yang baru. Didalam dunia pemikiran tidak ada istilah baru. Yang baru itu kitanya, kita yang baru tahu kalau hal itu bisa dilakukan begini dan yang begini bisa dilakukan begitu. Logika filsafatnya kan begitu, sebagaimana komentar Hegel tentang pengetahuan manusia yang relatif. Lalu, yang baru itu apanya?

Ya tidak ada yang baru kecuali kalau kita mau mengasah kembali kesadaran, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitar. Lho, mengapa harus begitu? Bukankah kita sudah sadar, dalam artian sudah Islam dan sudah sering shalat, terserah apakah shalatnya dengan gaya konvensional -sebagaimana nabi Muhammad shalat- atau dengan gaya baru tadi.

Saya pikir, disini letak kritis kita terhadap prilaku kita selama ini. Kita sebagai seorang guru agama atau pimpinan lembaga yang sifatnya keagamaan, taruhlah umpamanya sebuah universitas, atau organisasi kumpulan para ulama dan atau yang lainnya. Realitanya, di satu sisi, kita berada pada kubu kebenaran, tetapi pada sisi yang samar oleh mata kita sendiri, kita sebenarnya tengah melakukan tindakan anarkis didalam maupun diluar pengetahuan kita. Sulitnya, ketika orang lain mengetahui hal itu dan langsung memberikan nasehat, kita sering tertipu dengan diri sendiri yang tidak pernah merasa salah. Lebih sulit lagi ketika kita sudah mendewakan baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap latar belakang dan sejarah yang merupakan cerminan kepribadian kita. Sudahkah kita shalat?

Shalat? Ngapain? Dan apa hubungannya? Boleh nggak sejenak saya merenung? Saya ingin shalat. Maksud saya, menyalatkan nafsu, alias ego saya yang selama ini -menurut hemat saya yang dangkal- masih belum pernah dishalatkan. Karena yang selama ini shalat, kan cuma hati, lidah dan badan saja. Disinilah barangkali hikmah mengapa Tuhan menganjurkan juga puasa, zakat dan haji. Tapi lagi-lagi ego kita masih belum juga shalat. Sampai kapan?!

Makanya didalam Al-Quran ada kalimat-kalimat yang tak kalah kuantitasnya dengan kalimat As-Shalat. Kalimat tersebut diantaranya: afala tatafakkarun, la'allakum ta'qilun, ayatun li ulil albab dan sebagainya. Jadi, disamping shalat yang ada, kita masih harus shalat lagi. "Apakah kalian harus menunggu Aku untuk menyalatkanmu?" Kata Tuhan kepada mereka yang masih ingkar. Maaf, ini cuma istilah saya. Tuhan tidak pernah berkata seperti itu. Saya hanya memahami bahwa azab yang datang dari Tuhan itu adalah bentuk kepedulian Tuhan untuk menyalatkan hambanya yang masih belum shalat. Salah nggak? Saya punya bukti lho!

Salah satunya, kisah-kisah didalam al-Quran. Para pembangkang baru sadar setelah mereka mendapatkan suatu bala yang datang dari langit. Fir'aun, Qarun, Haman dan lainnya, adalah sejumlah pribadi yang baru sadar setelah Tuhan memberikan sangsi. Dari sini saya bisa menyimpulkan bahwa kesakitan fisik disisi lain juga membawa dampak positif. Orang lebih sering bisa disadarkan oleh kejadian-kejadian yang cukup menggonjangkan jiwa.

Kematian, kehilangan, kecelakaan dan sebagainya, ternyata lebih bisa membuat kita mengintrospeksi diri. Kalau begitu, mendingan kita memalangkan diri saja biar sadarnya lebih sering!

Tidak! Tidak seperti itu prakteknya. Tuhan melarang kita menelantarkan diri. Kemalangan itu bisa diartikan lebih luas, tidak cuma terbatas pada malapetaka seperti itu. Di dunia ini masih banyak orang miskin, orang cacat dan mereka yang hidupnya tidak nyaman. Dan juga tidak sedikit dari mereka yang tidak menerima kenyataan yang ada. Hanya saja, ketidaksadaran mereka lebih bisa ditolerir ketimbang mereka yang diberikan anugrah melimpah ruah. Makanya Nabi Muhammad pernah meminta kepada Tuhan agar hidupnya sama dengan orang miskin, karena air mata lebih bisa membuat kita sadar ketimbang gelak-tawa, gagap-gempita dan sorak-tampik kesenangan materi.

Akhirnya, maafkan saya yang dalam penulisan ini lebih menampakkan sikap sok tahu saya. Tulisan ini lebih saya tujukan kepada diri saya pribadi, karena saya juga belum termasuk dalam golongan orang-orang yang sadar. Saya masih bertanya pada diri sendiri: Sudahkah saya shalat?

Daptar isi

Alamat KMKM

My photo
Sekretariat: 02/01 St. Mahmud Banan, Qasar Baron:1 Blok:20, 9th District Nasr City Cairo Telp: 202 0108242360, Egypt

Mutiara Hikmah

"Umar bin Abdil Aziz mengatakan: Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan."

SMS GRATIS


Make Widget

 
Label:
Recent Posts

Copyright © 2010 Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir. All Rights Reserved. Powered by Blogger and Edited Template by Asyd KiNaNa .